Word Planet Bahasa,Kitab Sejarah Penerjemahan Kitab Suci di Masa Awal Gereja

Sejarah Penerjemahan Kitab Suci di Masa Awal Gereja


Sejarah Penerjemahan Kitab Suci di Masa Awal Gereja

Sejarah Penerjemahan Kitab Suci di Masa Awal Gereja – Kitab Suci yang saat ini digunakan oleh umat Kristiani di seluruh dunia adalah teks Kitab Suci yang telah melalui proses yang sangat panjang dalam penerjemahannya. Kitab Suci sendiri berfokus pada dua kisah utama, yaitu pada kisah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Semuanya merupakan suatu perjalanan dari suatu bangsa terpilih oleh Allah dalam mendapatkan keselamatan yang kemudian digenapi dengan munculnya Sang Mesias yang adalah pribadi Yesus Kristus. Ini dimulai dari kisah Perjanjian Lama yang menjadi titik awal dan perjalanan bangsa Yahudi sebagai banga yang dipilih oleh Allah. Kemudian, ini digenapi dengan Perjanjian Baru yang memberikan kisah tentang Yesus Kristus yang berkarya di tengah bangsa Yahudi atau orang Israel di masa itu beserta dengan kitab-kitab dari surat para Rasul. Semuanya memang berfokus pada bangsa Yahudi sehingga bahasa yang digunakan pun mengikuti apa yang digunakan di masa itu. Barulah ketika Gereja Perdana mulai berkembang, penerjemahan Kitab Suci dimulai.

Penerjemahan pertama justru hadir dan ditujukan kepada orang Yahudi. Pada masa itu, sebagian orang Yahudi sudah tidak lagi menggunakan bahasa Ibrani hingga bahasa Aram dalam bahasa sehari-seharinya. Padahal dalam beribadah, mereka tentu perlu adanya Kitab Suci yang disebut dengan Tanakh. Ini adalah bagian dari Kitab Suci Perjanjian Lama. Tanakh sendiri mencakup tiga bagian dan Tanakh ini adalah singkatan dengan tiga huruf yang mewakili tiga bagian itu, yaitu T, N, K.

Bagian pertama adalah Kitab Taurat yang biasa juga disebut Pentateuch karena ada lima kitab di dalamnya. Ini adalah lima kitab utama bagi orang Yahudi. Lalu, bagian kedua adalah kitab-kitab Nebiim atau tentang Nabi-Nabi. Bagian ketiga adalah Ketubim yang berisi kitab-kitab tentang tulisan-tulisan layaknya suatu doa dan kidung mazmur.

Kitab-kitab ini perlu bisa digunakan dan dipahami oleh orang Yahudi yang di masa itu sudah berbahasa Yunani. Ini tidak lepas dari pengaruh kekuasaan Alexander Agung yang menyebarkan bahasa Yunani ke berbagai wilayah, hingga bahkan ke wilayah Palestina. Dengan banyaknya orang Yahudi di wilayah diaspora dan tidak bisa lagi berbahasa Ibrani dan Aram, Ptolomeus Philopator di masa itu memerintahkan 72 orang ahli dalam bahasa Ibrani dan Aram untuk menerjemahkan Tanakh itu. 72 orang itu disebut dengan septuaginta yang berarti tujuh puluh, dan ini adalah pembulatan dari jumlah orang yang terlibat dalam penerjemahannya. Kemudian, kitab yang diterjemahkan itu pun dikenal dengan istilah Septuaginta dan digunakan secara luas. Penerjemahan ini terjadi di masa 250 SM. Namun pada kisaran 90 Masehi, umat Yahudi mengadakan konsili dan merumuskan Naskah Masorah atau Naskah Masoret yang memiliki komposisi berbeda dalam susunan Kitab Perjanjian Lama walau urutannya tetap menggunakan versi dari Septuaginta.

Walau ada perbedaan antara Septuaginta dan Masorah, perbedaan utama lebih pada bagian kitab di dalamnya dengan adanya beberapa kitab di Septuaginta yang tidak dicantumkan di Naskah Masorah tersebut. Dengan seiring berjalannya waktu, Yesus pun hadir dan mulai berkarya di tengah Palestina, di antara orang-orang Yahudi. Ini menandai jalannya Perjanjian Baru. Pada masa itu, bahasa Yunani masih menjadi lingua franca atau bahasa sehari-hari di Palestina walau disebutkan juga bahwa Yesus berkarya dan mengajar dalam bahasa Aram juga dalam prosesnya. Usai Yesus wafat dan naik ke surga, para Rasul pun mewartakan kisah Yesus tersebut dan dituliskan dalam kitab-kitab yang menjadi bagian dari Perjanjian Lama. Ada pula surat-surat seperti surat dari Rasul Paulus ke berbagai jemaat di beragam wilayah. Tulisan-tulisan ini dibuat dalam bahasa Yunani yang pada masa itu memang menjadi Lingua Franca.

Seiring berjalannya waktu, kekuasaan dengan bahasa Yunani digantikan oleh kekuasaan Romawi dengan bahasa Latin. Karena bahasa Latin pun mulai banyak digunakan oleh jemaat Gereja Perdana, Paus Damaskus I meminta penerjemahan Kitab Suci dalam bahasa Latin. Santo Hieronimus diminta untuk menjalankan penerjemahan ini. Penerjemahan pun dilakukan. Namun, ini tidak menggunakan Septuaginta sebagai sumber utama dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Septuaginta sebatas digunakan saja dalam susunan kanon Kitab Sucinya. Sedangkan, sumber dari Kitab Suci Perjanjian Lama berasal dari naskah berbahasa Ibrani yang ada di masa itu. Terjemahan yang ada pun dinamakan dengan Vulgata. Dengan semakin meluasnya penggunaan bahasa Latin, teks Vulgata pun digunakan secara luas.

Namun, bila melihat Kitab Suci berbahasa Indonesia seperti yang ada sekarang ini, memang sering dijumpai adanya bagian yang disebut dengan kitab Deuterokanonika. Ini menjadi hal yang seringkali tidak dipahami banyak orang. Deuterokonika ini diartikan sebagai Kanon Kedua. Isinya adalah tentang Kitab-Kitab dan semuanya itu adalah kitab dari masa Perjanjian Lama. Kehadiran Kitab dalam kanon kedua ini tidak lepas dari peran Martin Luther yang pada masa itu memberikan kritik kepada Gereja dan menerjemahkan Kitab Suci. Martin Luther kemudian diikuti oleh jemaat yang saat ini dikenal dengan Gereja Kristen Protestan.

Terjemahan dari Luther ini mengacu pada naskah Masorah atau Masoret. Namun dalam prosesnya, Luther tidak membuang naskah-naskah yang masuk dalam kategori Deuterokanonika saat ini. Naskah-naskah itu disebutnya masih tetap layak dibaca. Walau pada perkembangannya, Gereja Kristen Protestan tidak menggunakan teks dari Kanon Kedua itu tapi untuk Gereja Katolik, teks itu masih tetap dibaca. Inilah kenapa pada terjemahan seperti terjemahan dalam bahasa Inggris, tidak ada pembedaan antara Kitab Suci Perjanjian Lama dan Deuterokanonika karena sejak awal teks itu sudah ada dalam bagian Septuaginta.